home

home
photo

Selasa, 02 November 2010

MENGENAI INDENPENDEN PAPUA BARAT

Bangsa Papua dipaksakan masuk ke dalam NKRI di bawah bayang-bayang Amerika Serikat hanya karena kepentingan politik dan ekonomi semata. Pemerintah Indonesia mempunyai kepentingan ekonomi dan politik di Papua, sedangkan Amerika Serikat memainkan status Papua hanya demi kepentingan ekonomi semata. Buktinya adalah bahwa sejak tahun 1962 Amerika Serikat melakukan siasat yang jitu untuk mengelabui PBB dan Belanda untuk Papua masuk ke dalam NKRI.

Salah satu siasat yang dimainkan dalam rangka mencaplok Papua ke dalam NKRI adalah proposal Bunker. Proposal tersebut dirancang oleh seorang Amerika Serikat politik kelas kakap. Hasil rancangannya berhasil mempengaruhi Belanda dan PBB. Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1962 telah mengadakan perjanjian New York. Dalam perjanjian tersebut telah menyatakan bahwa status Papua diserahkan ke dalam tangan UNTEA dan ditetapkan bahwa selama 6 tahun UNTEA menyiapkan bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri dengan cara “one man one vote” (satu orang satu suara).

Selama satu tahun UNTEA menjadi pemerintahan transisi, orang Papua melakukan berbagai kegiatan, misalnya aksi protes atas tidak menerima pemerintah Indonesia berkuasa di Papuia, akan tetapi bagi mereka yang melakukan tindakan protes diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi, misalnya diintimidasi, terror, diperkosa, dan bahkan dibantai.

Selama satu tahun (antara 15 Agustus 1963-1 Mei 1963), Amerika serikat bermain sedemkian rupa dan berusaha mempengaruhi PBB (UNTEA), akhirnya pada tanggal 1 Mei 1963 Papua yang sedang disengketakan antara Belanda dan Indonesia diserahkan oleh UNTEA kepada negara Indonesia yang juga sebagai pihak sengketa itu. Inilah suatu kelalaian PBB melalui kaki tangannya UNTEA. Anehnya Papua yang sedang disengkatan antara Belanda dan Indonesia, Papua diserahkan kepada Indonesia untuk mempersiapkan bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri. Inilah politik tingkat tinggi yang dimainkan oleh Amerika Serikat hanya demi memperkuat posisi Amerika Serikat dalam bidang ekonomi di Papua.

Tanggal 1 Mei 1963 adalah awal yang baru bagi Indonesia dan Amerika Serikat untuk memainkan satutus Papua menjadi bagian dari NKRI. Banyak cara yang digunakan dalam rangka itu. Salah satu cara yang tidak luput dari ingatan orang Papua adalah sejak tahun 1967 sebelum Penentuan Pendapat Rakyat Papua yang dikenal dengan nama “PEPERA”; pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat telah menandatangi MoU tentang pengeksploitasian tambang Emas dan Tembaga di Timika.

Ini aneh, status Papua yang belum ditentukan melalui penentuan nasib orang Papua, pemerintah Indonesia berani melakukan perjanjian MoU antara Amerika dan Indonesia tantang rencana pengekpolitasian tembaga dan emas. Dengan demikian sejak tahun 1967 PT Free Port sudah mulai dioperasikan oleh Amerika Serikat. Akhirnya melalui berbagai rekayasa, intimidasi, terror dan berbagai pelanggaran HAM yang serius, pemerintah Indonesia di bawah bayang-bayang Amerika Serikat memaksa 1025 orang untuk mewakili orang Papua lain memilih Papua adalah bagian wilayah NKRI.

Sejak tahun 1967 tujuh suku, khususnya suku Amungme dan Kamoro yang mendiami di sekitar pertambangan PT Freeport mengalami kerugian fatal, baik lingkungan, flora dan fauna serta manusia Papua dikorbankan. Hanya demi mengambil emas dan tembaga itu Pesona alam dan pesona manusia dikorbankan. Pemilik tanah adat menderita di atas kekayaan alam, sementara para perantau yang baru datang hanya untuk mempertahankan hidup sambil menguras kekayaan alam Papua, menari-nari di atas hasil penjualan emas dan tembaga.

Orang Papua, khususnya tujuh suku miskin dan terlantar. Hidup kami terlantar karena lingkungan kami telah dihabisi oleh mesin-mesin raksasa ulah manusia sekarah yang tidak menghargai pesona manusia dan alam. Dari tahun 1967 kami tujuh suku, terlebih suku Amungme dan Komoro mengalami dampak negatif yang membawa ancaman terhadap hak hidup.

Kasus Timika Berdarah pada tanggal 21 adalah merupakan salah satu peristiwa kelabu dari sekian ribu kasus yang terjadi dari sejak PT Free Port beroperasi di Timika. Pelaku penambakan adalah TNI, Brimob dan Kapolsek Timika. Korban kasus Timika berdarah terdiri dari lima orang, yakni Yulian Murib meninggal dunia setelah sebuah peluru menembusi dahi - kepala, Melianus Murib kena tembakan di perut dan 3 orang di antaranya identitasnya tak bisa diketahui oleh pihak korban karena rumah sakit “hospital 68” yang sedang menjalani perawatan diblokir oleh aparat TNI, Brimob dan POLRI.

Kami orang Papua, khususnya tujuh suku pemilik hak ulayat tidak mau korban lagi di atas negeri kami sendiri; kami tak mau tempat tinggal kami dirusakkan, kami tak mau kekayaan kami diambil, kami tidak mau menderita lagi di atas tanah kami sendiri, kami tidak mau mati lagi, kami tidak mau ditipu dan dibodohi lagi; kami tidak mau kasih makan Indonesia, Amerika dan negara lain lagi.

Kami orang Papua, khususnya tujuh suku mengatakan pada kesempatan ini: CUKUP, CUKUP DAN CUKUP SUDAH, kami orang Papua, khususnya tujuh suku menjamin dunia dari hasil Tambang Emas dan Tembaga. CUKUP, CUKUP DAN CUKUP SUDAH, demi mengambil emas Papua, kalian telah dan sedang mengorbankan MAS Papua.

Maka, kami tujuh suku sebagai pemilik hak ulayat menyatakan dan menyerukan kepada pimpinan PT Freeport, Negara Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat serta Belanda bahwa:

1. Kami pemilik hak ulayat berkomitmen bahwa kami yang masih hidup tetap memblokir PT. Freeport selama berhari-hari sampai Tom Beanal, James Moffet dan para pemegang SAHAM bersama Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat mengadakan dialog bersama dengan tujuh suku sebagai pemilik hak ulayat untuk mencabut MoU tentang PT Freeport dan memberhentikan pengeksploitasian Tambang Emas dan Tembaga.
2. Mendesak kepada MRP dan DPRP segera mengadakan Sidang Paripurna demi menetapkan Dialog Nasional dan Internasional; selanjutnya MRP dan DPRP mendesak Pemerintah Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat segera melakukan Dialog Nasional dan Internasional untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh, utuh dan tuntas.

3. Kami tujuh suku menyeruhkan kepada suku-suku lain di Papua bahwa segera menyatukan barisan perlawanan dalam mendukung penutupan Freeport yang didorong oleh tujuh suku pemiilik hak ulayat dan mendesak lembaga-lembaga terkait (DPRP dan MRP) mendorong Dialog Nasional dan Internasional untuk membicarakan berbagai masalah di Papua secara konprehensif

4. Sebelum pihak PT. Freeport (James Moffet), pemilik Saham, Indonesia dan Amerika Serikat tidak membuka dialog dengan tujuh suku pemilik hak ulayat dan membuka Dialog nasional dan Internasional dengan orang Papua, maka kami tujuh suku bersama dengan suku-suku asli lain di Papua berkomitment bahwa kami akan mempertaruhkan nyawa kami untuk memblokir PT Freeport Indonesia sampai pihak-pihak yang melacurkan diri (Indonesia, Amerika, Belanda dan PBB) datang dan duduk bersama dengan Massa rakyat Papua dalam penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh, utuh dan tuntas berdasarkan prinsip demokrasi, hukum, keadilan, kebenaran dan bermartabat.

5. Apabila Tuntutan kami tidak ditanggapi, maka kami akan memboikot Pilkadasung Gubernur/Wakil Gubernur Papua Periode 2006-2011 tanggal 10 Maret 2006 melalui Mogok Sipil Nasional Papua. Pilkadasung tidak ada artinya kalau Rakyat Papua terus dibantai diatas tanah leluhurnya sendiri.

Demikianlah pernyataan dan seruan kami untuk diperhatikan dan diperiksa.

Port Numbay, 25 Februari 2006

Atas Nama Ketujuh Suku Pemilik Hak Ulayat
(Tokoh Masyarakat)


THADEUS KWALIK
______________________
Untuk Informasi Detail tentang Publikasi ini, silahkan menghubungi Selpius Bobii (Sekjen Front Pepera Papua Barat) Mobile : +62 81 343 118 143. Selpius Bobii dipercayakan sebagai Juru Bicara Ketujuh Suku.

© Copyright 2003-2005 by watchPAPUA

Email this article
Printer friendly page






JAYAPURA—-Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) minta kepada pemerintah daerah Kabupaten Puncak Jaya untuk meninjau kembali deadline 28 Juni 2010 yang diberikan kepada Tentera Pembebasan Nasional (TPN)/Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk menyerahkan diri dan menyerahkan senjata api hasil rampasan kepada aparat. Hal ini diungkapkan anggota DPRP asal Pegunungan Tengah Deerd Tabuni SE MSi saat dikonfirmasi Bintang Papua di Gedung DPRP, Jayapura, Selasa (18/5) menyikapi dan menanggapi pernyataan Bupati Kabupaten Puncak Jaya dan pimpinan DPRD Kabupaten Puncak Jaya agar TPN/OPN menyerahkan diri sekaligus menyerahkan senjata api rampasan selambat lambatnya 28 Juni mend atang


W,MR,WENDANAK


Yogyakarta 24- 09-/2010
Dikatakan, pihaknya mempertanyakan sejauh mana pendekatan yang dilakukan Pemda Kabupaten Puncak Jaya terhadap TPN/OPM yang ada di wilaya Puncak Jaya. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa kelompok TPN/OPM di Puncak Jaya masing masing kelompok Goliat Tabuni, Kelompok Marunggen Wonda, Kelompok Anton Tabuni serta kelompok Telengen. “Apakah kelompok kelompok ini telah dikoordinasi dengan baik atau belum,” ujar Deerd Tabuni. “Kami kwatirkan dengan keadaan pada deadline itu terjadi maka akan terjadi pertumpahan darah yang meminta korban yang lebih besar terhadap masyarakat di Puncak Jaya.” Karena itu, lanjut Deerd Tabuni, demi kebersamaan baik dari pemerintah Kabupaten Puncak Jaya maupun Pemerintah Provinsi Papua harus ada pertemuan untuk membuka ruang dialog menyangkut serangkaian peristiwa yang terjadi di Puncak Jaya selama ini.

Selasa, 31 Agustus 2010

Gubernur juga mengatakan, di balik sukacita itu, sudah ada masa depan baru untuk rakyat di wilayah Pegunungan Tengah, yaitu masa depan baru khususnya kepada 5 kabupaten dan 5 penjabat bupatinya mengingat ketika Irian Barat kembali kepangkuan RI sejak 62 tahun lalu pengembangan pemerintahan dan pemekaran pemerintahan dimulai dari 2 kabupaten ini, kemudian menjadi 3 kabupaten setelah itu menjadi 6 kabupaten dan pada saat ini sudah menjadi 12 kabupaten.
“Dengan diresmikannya 5 kabupaten dan dilantiknya 5 penjabat bupatinya, maka sudah ada masa depan baru bagi rakyat di Pegunungan Tengah,�imbuhnya sambil memberikan tepuk tangan.
Diungkapkan gubernur, kondisi geografi dan kekayaan alam yang tergandung di wilayah Papua, kondisi demokrasi, sosial budaya, ketersedian infrastruktur yang terbatas, latar belakang sejarah yang dialaminya telah menunjuk karakter manusia masyarakat dan budaya yang unik serta kaya di kawasan Pegunungan Tengah.
Alam yang keras telah membentuk budaya pekerja keras, budaya kompetisi sekalipun membentuk suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Pegunungan Tengah sejak ribuan tahun yang lalu dengan budaya yang sangat unik.
Dikatakan, alam Pegunungan Tengah juga memiliki potensi kekayaan alam yang sangat luar biasa bagaikan raksasa yang tidur (kekayaan alam yang belum dikelola dan hijau). Beberapa diantara komoditas unggulan adalah kopi Arabika adalah kopi yang kualitasnya terbaik di dunia, buah merah yang setelah diteliti ternyata bisa menyembuhkan penyakit HIV/AIDS di seluruh dunia, madu yang kualitasnya juga terbaik di dunia, jeruk, markisa, nenas, wortel dan kol yang mutunya terbaik. “Semua potensi yang dimiliki wilayah Papua khususnya pegunungan tengah ternyata menyimpan suatu kekayaan alam yang perlu dikelola secara baik sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya,� tuturnya.
Disamping itu, gubernur juga menegaskan bahwa potensi wisata alam yang luar biasa dan lebih dari ini semua di bawah tanahnya pegunungan mengandung kekayaan seperti pertambangan emas, tembaga, perak, uranium dan sebagainya yang bisa menghasilkan sekitar Rp 900 trilliun, namun demikian rakyat di pegunungan ini secara relatif masih tertinggal dan masih hidup dalam komuniti keterbatasan dan hidup dalam kondisi seperti itu di atas kekayaannya sendiri, diatas kekayaan alam dan diatas kekayaan budaya yang mereka miliki.
Oleh karena itu, bisa dilihat juga kondisi kesehatan, pendidikan, gizi untuk ibu dan bayi, anak balita dan anak sekolah, infrastruktur yang sangat terbatas semua ini harus menjadi agenda utama yang dilaksanakan para Bupati di Pegunungan Tengah yang didukung oleh pemerintah provinsi Papua. Untuk itu, perlu beberapa strategi untuk menerobos kondisi adalah strategi yang penting untuk menghadapi tantangan yang tidak ringan di wiayah pegunungan, kemudian strategi membangun masyarakat yang dimulai dari kampung-kampung ke kota. Setelah itu strategi untuk membenahi dan memperkuat semua aparatur pemerintahan pada semua jenjang dan tingkatannya terutama pada tingkat distrik dan kampung.
“Di tengah-tengah perkembangan pemerintahan dan pembangunan seperti itulah pemekaran pemerintahan di kawasan Pegunungan Tengah ini dengan hadirnya 5 kabupaten baru yang akan menambah kelancaran tugas-tugas pemerintahan pembangunan dan pelayanan masyarakat yang semakin efisien, infrotektif dan semakin dekat menyentuh rakyatnya yang hidup di kelompok-kelompok,� ujarnya.
Tambahnya, “hadirnya 5 kabupaten yang baru ini kita harapkan semoga rakyat di kabupaten ini mendapatkan pelayanan yang lebih baik untuk bisa menikmati masa depan yang lebih adil dan sejahtera,�katanya.
Untuk itu dan sesuai dengan tugas pokok yaitu membentuk struktur dan tata pemerintahan, menyelenggarakan pemerintahan sebagai kabupaten baru untuk meletakkan dasar bagi kabupaten baru, membentuk DPRD dan menyiapkan fasilitas untuk pemilihan bupati definitif.
Sekedar diketahui, Mendagri Mardiyanto setelah melantik dan mengambil sumpah penjabat bupati, maka dilanjutkan dengan menekan tombol peta batas wilayah 5 kabupaten. Setelah itu dilanjutkan penjelasan dari Bupati Jayawijaya, Washinton Turnip, SH, MM dan bupati Puncak Jaya Lukas Enembe, SIP tentang batas-batas wilayah kelima kabupaten tsb.
Bupati Jayawijaya, Washinton Turnip, SH, MM, menjelaskan, Kabupaten Mamberamo Tengah terdiri dari 5 distrik dengan luas 1.275 km2 dengan ibukotanya di Kobakma memiliki jumlah penduduk sekitar 54.735 orang jiwa, sedangkan Kabupaten Yalimo terdiri dari 5 distrik dengan luas 1.253 km2 ibukota di Elelim dan jumlah penduduk sekitar 34.057 orang jiwa. Kabupaten Lany Jaya terdiri dari 10 distrik dengan luas 2.168 km2 ibukota di Tiom dengan jumlah penduduk sekitar 89.332 orang jiwa dan Kabupaten Nduga terdiri dari 8 distrik dengan luas 1.253 km2 ibukota di Kenyam memiliki jumlah penduduk sekitar 73.696 jiwa.
Sedangkan Bupati Kabupaten Puncak Jaya, Lukas Enembe, SIP menjelaskan, untuk Kabupaten Puncak pemekaran dari kabupaten Puncak Jaya terdiri dari 8 distrik yang mempunyai luas 8.055 km2 ibukota di Illaga dengan jumlah penduduk sekitar 60.294 orang jiwa. “Dari 16 distrik yang ada di wilayah Kabupaten Puncak Jaya maka dengan adanya pemekaran, maka sudah tinggal 8 distrik lagi,�tegas Enembe sambil memegang pengeras suara didampingi Wakil Ketua I DPRD Puncak Jaya, Elvis Tabuni. (nal/jk)

SEOLAH-OLAH DI KATAKAN ADA HARAPAN BAGI PEGUNUNGAN TENGAH PAPUA MELALUI PEMEKARAN.

                 "Mahasiswa Pegunungan Tengah Sejawa - Bali Prihatin"
Ini sebua intuisi dikembangkan oleh seorang Elit Politik supaya tak anda sorotan yang di punkiri oleh tinggat Mahasiswa sejawa bali untuk itu kami tak bisa mencoleransikan begitu saja tetapi ada bertolak belakan di bangun oleh mahasiswa se Jawa- Bali untuk membebaskan dari prnintasan rakyat oleh NKRI terhadap masyarakat Papua dalam berbagai macam cara yang dilakukan oleh pemerinta pusat ini  

kekuatan pergerakan Papua Merdeka memang terletak di Pegunungan Tengah Papua. kita harus melihat fenomena yang ada dalam pergerakan. jadi saya tidak banyak mengutarakan hal ini tapi saya hanya mau katakan bahwa:
  • pemekaran tersebut di berikan untuk merekdahkan dan melemahkan rasa ingin merdeka ibarat ketika bayi menangis supaya meredahkan teriakan menangis, ibunya dapat memetik bunga lalu memberikan nya agar tidak menangis untuk sementara;
  • dengan tujuan menciptakan konflik antara orang Papua dengan orang Papua sendiri
  • menciptakan lapangan kerja yang seluas2nya bagi orang2 yang menganggur di jawa, makasar, dll untuk dapat mencari kerja di Papua lslu menguasai Tanah dan segala kekayaan dan bertindak sewenang2;
  • melemahkan kekuatan kami orang Papua sendir;
  • memberikan serta membuka jalan untuk TNI/POLRI untuk gampang operasi rakyat-rakyat  Papua dan membunuh RAKYAT PAPUA
hal tersebut di atas merupakan sala satu strategis pemusnahan entnis melanesia dan ada inisiatif penguasaan hak milik orang aslim Papua. sehingga jangan perna kita orang Papua berfikir tentang hal ini ada Masa Depan Baru Bagi Rakyat Pegunungan Tengah.
sebenarnya bukan saatnya, namaun pertanyaan yang perlu kita jawab bersama Bangsa Papua dipaksakan masuk ke dalam NKRI di bawah bayang-bayang Amerika Serikat hanya karena kepentingan politik dan ekonomi semata. Pemerintah Indonesia mempunyai kepentingan ekonomi dan politik di Papua, sedangkan Amerika Serikat memainkan status Papua hanya demi kepentingan ekonomi semata. Buktinya adalah bahwa sejak tahun 1962 Amerika Serikat melakukan siasat yang jitu untuk mengelabui PBB dan Belanda untuk Papua masuk ke dalam NKRI.

Salah satu siasat yang dimainkan dalam rangka mencaplok Papua ke dalam NKRI adalah proposal Bunker. Proposal tersebut dirancang oleh seorang Amerika Serikat politik kelas kakap. Hasil rancangannya berhasil mempengaruhi Belanda dan PBB. Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1962 telah mengadakan perjanjian New York. Dalam perjanjian tersebut telah menyatakan bahwa status Papua diserahkan ke dalam tangan UNTEA dan ditetapkan bahwa selama 6 tahun UNTEA menyiapkan bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri dengan cara “one man one vote” (satu orang satu suara).

Selama satu tahun UNTEA menjadi pemerintahan transisi, orang Papua melakukan berbagai kegiatan, misalnya aksi protes atas tidak menerima pemerintah Indonesia berkuasa di Papuia, akan tetapi bagi mereka yang melakukan tindakan protes diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi, misalnya diintimidasi, terror, diperkosa, dan bahkan dibantai.

Selama satu tahun (antara 15 Agustus 1963-1 Mei 1963), Amerika serikat bermain sedemkian rupa dan berusaha mempengaruhi PBB (UNTEA), akhirnya pada tanggal 1 Mei 1963 Papua yang sedang disengketakan antara Belanda dan Indonesia diserahkan oleh UNTEA kepada negara Indonesia yang juga sebagai pihak sengketa itu. Inilah suatu kelalaian PBB melalui kaki tangannya UNTEA. Anehnya Papua yang sedang disengkatan antara Belanda dan Indonesia, Papua diserahkan kepada Indonesia untuk mempersiapkan bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri. Inilah politik tingkat tinggi yang dimainkan oleh Amerika Serikat hanya demi memperkuat posisi Amerika Serikat dalam bidang ekonomi di Papua.

Tanggal 1 Mei 1963 adalah awal yang baru bagi Indonesia dan Amerika Serikat untuk memainkan satutus Papua menjadi bagian dari NKRI. Banyak cara yang digunakan dalam rangka itu. Salah satu cara yang tidak luput dari ingatan orang Papua adalah sejak tahun 1967 sebelum Penentuan Pendapat Rakyat Papua yang dikenal dengan nama “PEPERA”; pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat telah menandatangi MoU tentang pengeksploitasian tambang Emas dan Tembaga di Timika.

Ini aneh, status Papua yang belum ditentukan melalui penentuan nasib orang Papua, pemerintah Indonesia berani melakukan perjanjian MoU antara Amerika dan Indonesia tantang rencana pengekpolitasian tembaga dan emas. Dengan demikian sejak tahun 1967 PT Free Port sudah mulai dioperasikan oleh Amerika Serikat. Akhirnya melalui berbagai rekayasa, intimidasi, terror dan berbagai pelanggaran HAM yang serius, pemerintah Indonesia di bawah bayang-bayang Amerika Serikat memaksa 1025 orang untuk mewakili orang Papua lain memilih Papua adalah bagian wilayah NKRI.

Sejak tahun 1967 tujuh suku, khususnya suku Amungme dan Kamoro yang mendiami di sekitar pertambangan PT Freeport mengalami kerugian fatal, baik lingkungan, flora dan fauna serta manusia Papua dikorbankan. Hanya demi mengambil emas dan tembaga itu Pesona alam dan pesona manusia dikorbankan. Pemilik tanah adat menderita di atas kekayaan alam, sementara para perantau yang baru datang hanya untuk mempertahankan hidup sambil menguras kekayaan alam Papua, menari-nari di atas hasil penjualan emas dan tembaga.

Orang Papua, khususnya tujuh suku miskin dan terlantar. Hidup kami terlantar karena lingkungan kami telah dihabisi oleh mesin-mesin raksasa ulah manusia sekarah yang tidak menghargai pesona manusia dan alam. Dari tahun 1967 kami tujuh suku, terlebih suku Amungme dan Komoro mengalami dampak negatif yang membawa ancaman terhadap hak hidup.

Kasus Timika Berdarah pada tanggal 21 adalah merupakan salah satu peristiwa kelabu dari sekian ribu kasus yang terjadi dari sejak PT Free Port beroperasi di Timika. Pelaku penambakan adalah TNI, Brimob dan Kapolsek Timika. Korban kasus Timika berdarah terdiri dari lima orang, yakni Yulian Murib meninggal dunia setelah sebuah peluru menembusi dahi - kepala, Melianus Murib kena tembakan di perut dan 3 orang di antaranya identitasnya tak bisa diketahui oleh pihak korban karena rumah sakit “hospital 68” yang sedang menjalani perawatan diblokir oleh aparat TNI, Brimob dan POLRI.

Kami orang Papua, khususnya tujuh suku pemilik hak ulayat tidak mau korban lagi di atas negeri kami sendiri; kami tak mau tempat tinggal kami dirusakkan, kami tak mau kekayaan kami diambil, kami tidak mau menderita lagi di atas tanah kami sendiri, kami tidak mau mati lagi, kami tidak mau ditipu dan dibodohi lagi; kami tidak mau kasih makan Indonesia, Amerika dan negara lain lagi.

Kami orang Papua, khususnya tujuh suku mengatakan pada kesempatan ini: CUKUP, CUKUP DAN CUKUP SUDAH, kami orang Papua, khususnya tujuh suku menjamin dunia dari hasil Tambang Emas dan Tembaga. CUKUP, CUKUP DAN CUKUP SUDAH, demi mengambil emas Papua, kalian telah dan sedang mengorbankan MAS Papua.

Maka, kami tujuh suku sebagai pemilik hak ulayat menyatakan dan menyerukan kepada pimpinan PT Freeport, Negara Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat serta Belanda bahwa:

1. Kami pemilik hak ulayat berkomitmen bahwa kami yang masih hidup tetap memblokir PT. Freeport selama berhari-hari sampai Tom Beanal, James Moffet dan para pemegang SAHAM bersama Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat mengadakan dialog bersama dengan tujuh suku sebagai pemilik hak ulayat untuk mencabut MoU tentang PT Freeport dan memberhentikan pengeksploitasian Tambang Emas dan Tembaga.
2. Mendesak kepada MRP dan DPRP segera mengadakan Sidang Paripurna demi menetapkan Dialog Nasional dan Internasional; selanjutnya MRP dan DPRP mendesak Pemerintah Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat segera melakukan Dialog Nasional dan Internasional untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh, utuh dan tuntas.

3. Kami tujuh suku menyeruhkan kepada suku-suku lain di Papua bahwa segera menyatukan barisan perlawanan dalam mendukung penutupan Freeport yang didorong oleh tujuh suku pemiilik hak ulayat dan mendesak lembaga-lembaga terkait (DPRP dan MRP) mendorong Dialog Nasional dan Internasional untuk membicarakan berbagai masalah di Papua secara konprehensif

4. Sebelum pihak PT. Freeport (James Moffet), pemilik Saham, Indonesia dan Amerika Serikat tidak membuka dialog dengan tujuh suku pemilik hak ulayat dan membuka Dialog nasional dan Internasional dengan orang Papua, maka kami tujuh suku bersama dengan suku-suku asli lain di Papua berkomitment bahwa kami akan mempertaruhkan nyawa kami untuk memblokir PT Freeport Indonesia sampai pihak-pihak yang melacurkan diri (Indonesia, Amerika, Belanda dan PBB) datang dan duduk bersama dengan Massa rakyat Papua dalam penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh, utuh dan tuntas berdasarkan prinsip demokrasi, hukum, keadilan, kebenaran dan bermartabat.

5. Apabila Tuntutan kami tidak ditanggapi, maka kami akan memboikot Pilkadasung Gubernur/Wakil Gubernur Papua Periode 2006-2011 tanggal 10 Maret 2006 melalui Mogok Sipil Nasional Papua. Pilkadasung tidak ada artinya kalau Rakyat Papua terus dibantai diatas tanah leluhurnya sendiri.

Demikianlah pernyataan dan seruan kami untuk diperhatikan dan diperiksa.

Port Numbay, 25 Februari 2006

Atas Nama Ketujuh Suku Pemilik Hak Ulayat
(Tokoh Masyarakat)


THADEUS KWALIK
______________________
Untuk Informasi Detail tentang Publikasi ini, silahkan menghubungi Selpius Bobii (Sekjen Front Pepera Papua Barat) Mobile : +62 81 343 118 143. Selpius Bobii dipercayakan sebagai Juru Bicara Ketujuh Suku.

© Copyright 2003-2005 by watchPAPUA

Email this article
Printer friendly page






JAYAPURA—-Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) minta kepada pemerintah daerah Kabupaten Puncak Jaya untuk meninjau kembali deadline 28 Juni 2010 yang diberikan kepada Tentera Pembebasan Nasional (TPN)/Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk menyerahkan diri dan menyerahkan senjata api hasil rampasan kepada aparat. Hal ini diungkapkan anggota DPRP asal Pegunungan Tengah Deerd Tabuni SE MSi saat dikonfirmasi Bintang Papua di Gedung DPRP, Jayapura, Selasa (18/5) menyikapi dan menanggapi pernyataan Bupati Kabupaten Puncak Jaya dan pimpinan DPRD Kabupaten Puncak Jaya agar TPN/OPN menyerahkan diri sekaligus menyerahkan senjata api rampasan selambat lambatnya 28 Juni mend atang


W,MR,WENDANAK


Yogyakarta 24- 09-/2010
Dikatakan, pihaknya mempertanyakan sejauh mana pendekatan yang dilakukan Pemda Kabupaten Puncak Jaya terhadap TPN/OPM yang ada di wilaya Puncak Jaya. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa kelompok TPN/OPM di Puncak Jaya masing masing kelompok Goliat Tabuni, Kelompok Marunggen Wonda, Kelompok Anton Tabuni serta kelompok Telengen. “Apakah kelompok kelompok ini telah dikoordinasi dengan baik atau belum,” ujar Deerd Tabuni. “Kami kwatirkan dengan keadaan pada deadline itu terjadi maka akan terjadi pertumpahan darah yang meminta korban yang lebih besar terhadap masyarakat di Puncak Jaya.” Karena itu, lanjut Deerd Tabuni, demi kebersamaan baik dari pemerintah Kabupaten Puncak Jaya maupun Pemerintah Provinsi Papua harus ada pertemuan untuk membuka ruang dialog menyangkut serangkaian peristiwa yang terjadi di Puncak Jaya selama ini.

Selasa, 31 Agustus 2010

Gubernur juga mengatakan, di balik sukacita itu, sudah ada masa depan baru untuk rakyat di wilayah Pegunungan Tengah, yaitu masa depan baru khususnya kepada 5 kabupaten dan 5 penjabat bupatinya mengingat ketika Irian Barat kembali kepangkuan RI sejak 62 tahun lalu pengembangan pemerintahan dan pemekaran pemerintahan dimulai dari 2 kabupaten ini, kemudian menjadi 3 kabupaten setelah itu menjadi 6 kabupaten dan pada saat ini sudah menjadi 12 kabupaten.
“Dengan diresmikannya 5 kabupaten dan dilantiknya 5 penjabat bupatinya, maka sudah ada masa depan baru bagi rakyat di Pegunungan Tengah,�imbuhnya sambil memberikan tepuk tangan.
Diungkapkan gubernur, kondisi geografi dan kekayaan alam yang tergandung di wilayah Papua, kondisi demokrasi, sosial budaya, ketersedian infrastruktur yang terbatas, latar belakang sejarah yang dialaminya telah menunjuk karakter manusia masyarakat dan budaya yang unik serta kaya di kawasan Pegunungan Tengah.
Alam yang keras telah membentuk budaya pekerja keras, budaya kompetisi sekalipun membentuk suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Pegunungan Tengah sejak ribuan tahun yang lalu dengan budaya yang sangat unik.
Dikatakan, alam Pegunungan Tengah juga memiliki potensi kekayaan alam yang sangat luar biasa bagaikan raksasa yang tidur (kekayaan alam yang belum dikelola dan hijau). Beberapa diantara komoditas unggulan adalah kopi Arabika adalah kopi yang kualitasnya terbaik di dunia, buah merah yang setelah diteliti ternyata bisa menyembuhkan penyakit HIV/AIDS di seluruh dunia, madu yang kualitasnya juga terbaik di dunia, jeruk, markisa, nenas, wortel dan kol yang mutunya terbaik. “Semua potensi yang dimiliki wilayah Papua khususnya pegunungan tengah ternyata menyimpan suatu kekayaan alam yang perlu dikelola secara baik sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya,� tuturnya.
Disamping itu, gubernur juga menegaskan bahwa potensi wisata alam yang luar biasa dan lebih dari ini semua di bawah tanahnya pegunungan mengandung kekayaan seperti pertambangan emas, tembaga, perak, uranium dan sebagainya yang bisa menghasilkan sekitar Rp 900 trilliun, namun demikian rakyat di pegunungan ini secara relatif masih tertinggal dan masih hidup dalam komuniti keterbatasan dan hidup dalam kondisi seperti itu di atas kekayaannya sendiri, diatas kekayaan alam dan diatas kekayaan budaya yang mereka miliki.
Oleh karena itu, bisa dilihat juga kondisi kesehatan, pendidikan, gizi untuk ibu dan bayi, anak balita dan anak sekolah, infrastruktur yang sangat terbatas semua ini harus menjadi agenda utama yang dilaksanakan para Bupati di Pegunungan Tengah yang didukung oleh pemerintah provinsi Papua. Untuk itu, perlu beberapa strategi untuk menerobos kondisi adalah strategi yang penting untuk menghadapi tantangan yang tidak ringan di wiayah pegunungan, kemudian strategi membangun masyarakat yang dimulai dari kampung-kampung ke kota. Setelah itu strategi untuk membenahi dan memperkuat semua aparatur pemerintahan pada semua jenjang dan tingkatannya terutama pada tingkat distrik dan kampung.
“Di tengah-tengah perkembangan pemerintahan dan pembangunan seperti itulah pemekaran pemerintahan di kawasan Pegunungan Tengah ini dengan hadirnya 5 kabupaten baru yang akan menambah kelancaran tugas-tugas pemerintahan pembangunan dan pelayanan masyarakat yang semakin efisien, infrotektif dan semakin dekat menyentuh rakyatnya yang hidup di kelompok-kelompok,� ujarnya.
Tambahnya, “hadirnya 5 kabupaten yang baru ini kita harapkan semoga rakyat di kabupaten ini mendapatkan pelayanan yang lebih baik untuk bisa menikmati masa depan yang lebih adil dan sejahtera,�katanya.
Untuk itu dan sesuai dengan tugas pokok yaitu membentuk struktur dan tata pemerintahan, menyelenggarakan pemerintahan sebagai kabupaten baru untuk meletakkan dasar bagi kabupaten baru, membentuk DPRD dan menyiapkan fasilitas untuk pemilihan bupati definitif.
Sekedar diketahui, Mendagri Mardiyanto setelah melantik dan mengambil sumpah penjabat bupati, maka dilanjutkan dengan menekan tombol peta batas wilayah 5 kabupaten. Setelah itu dilanjutkan penjelasan dari Bupati Jayawijaya, Washinton Turnip, SH, MM dan bupati Puncak Jaya Lukas Enembe, SIP tentang batas-batas wilayah kelima kabupaten tsb.
Bupati Jayawijaya, Washinton Turnip, SH, MM, menjelaskan, Kabupaten Mamberamo Tengah terdiri dari 5 distrik dengan luas 1.275 km2 dengan ibukotanya di Kobakma memiliki jumlah penduduk sekitar 54.735 orang jiwa, sedangkan Kabupaten Yalimo terdiri dari 5 distrik dengan luas 1.253 km2 ibukota di Elelim dan jumlah penduduk sekitar 34.057 orang jiwa. Kabupaten Lany Jaya terdiri dari 10 distrik dengan luas 2.168 km2 ibukota di Tiom dengan jumlah penduduk sekitar 89.332 orang jiwa dan Kabupaten Nduga terdiri dari 8 distrik dengan luas 1.253 km2 ibukota di Kenyam memiliki jumlah penduduk sekitar 73.696 jiwa.
Sedangkan Bupati Kabupaten Puncak Jaya, Lukas Enembe, SIP menjelaskan, untuk Kabupaten Puncak pemekaran dari kabupaten Puncak Jaya terdiri dari 8 distrik yang mempunyai luas 8.055 km2 ibukota di Illaga dengan jumlah penduduk sekitar 60.294 orang jiwa. “Dari 16 distrik yang ada di wilayah Kabupaten Puncak Jaya maka dengan adanya pemekaran, maka sudah tinggal 8 distrik lagi,�tegas Enembe sambil memegang pengeras suara didampingi Wakil Ketua I DPRD Puncak Jaya, Elvis Tabuni. (nal/jk)




OMONG KOSONG, KLO DI KATAKAN ADA HARAPAN BAGI PEGUNUNGAN TENGAH PAPUA MELALUI PEMEKARAN.

                 "mahasiswa pegunungan tengah sejawa - bali prihatin"

kekuatan pergerakan Papua Merdeka memang terletak di Pegunungan Tengah Papua. kita harus melihat fenomena yang ada dalam pergerakan. jadi saya tidak banyak mengutarakan hal ini tapi saya hanya mau katakan bahwa:
  • pemekaran tersebut di berikan untuk merekdahkan dan melemahkan rasa ingin merdeka ibarat ketika bayi menangis supaya meredahkan teriakan menangis, ibunya dapat memetik bunga lalu memberikan nya agar tidak menangis untuk sementara;
  • dengan tujuan menciptakan konflik antara orang Papua dengan orang Papua sendiri
  • menciptakan lapangan kerja yang seluas2nya bagi orang2 yang menganggur di jawa, makasar, dll untuk dapat mencari kerja di Papua lslu menguasai Tanah dan segala kekayaan dan bertindak sewenang2;
  • melemahkan kekuatan kami orang Papua sendir;
  • memberikan serta membuka jalan untuk TNI/POLRI untuk gampang operasi manusia2 Papua dan membunuh manusia Papua
hal tersebut di atas merupakan sala satu strategis pemusnahan entnis melanesia dan ada inisiatif penguasaan hak milik orang aslim Papua. sehingga jangan perna kita orang Papua berfikir tentang hal ini ada Masa Depan Baru Bagi Rakyat Pegunungan Tengah.
sebenarnya bukan saatnya, namaun pertanyaan yang perlu kita jawab bersama